STRUKTUR MENAJEMEN KONFLIK
Definisi Struktur Manajemen Konflik
Manajemen konflik merupakan
serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu
konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi
pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari
pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan
(interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai
pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi
konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika
ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
Menurut
Ross (1993) bahwa manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para
pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil
tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa
penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan,
hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat
melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan
atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga.
Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada
pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka
mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.
peran
manajemen konflik dalam organisasi
Dalam
sebuah organisai, pekerjaan individual maupun sekelompok pekerja saling terkait
dengan pekerjaan pihak-pihak lain. Ketika suatu konflik muncul di dalam sebuah
organisasi, penyebabnya selalu diidentifikasikan sebagai komunikasi yang kurang
baik. Demikian pula ketika suatu keputusan yang buruk dihasilkan, komunikasi
yang tidak efektif selalu menjadi kambing hitam.
Para
manajer bergantung kepada ketrampilan berkomunikasi mereka dalam memperoleh
informasi yang diperlukan dalam proses perumusan keputusan, demikian pula untuk
mensosialisasikan hasil keputusan tersebut kepada pihak-pihak lain. Riset
membuktikan bahwa manajer menghabiskan waktu sebanyak 80 persen dari total
waktu kerjanya untuk interaksi verbal dengan orang lain.
Ketrampilan
memproses informasi yang dituntut dari seorang manajer termasuk kemampuan untuk
mengirim dan menerima informasi ketika bertindak sebagai monitor, juru bicara
(Spekesperson), maupun penyusun strategi.
Sudah
menjadi tuntutan alam dalam posisi dan kewajiban sebagai manajer untuk selalu
dihadapkan pada konflik. Salah satu titik pening dari tugas seorang manajer
dalam melaksanakan komunikasi yang efektif didalam organisasi bisnis yang
ditanganinya adalah memastikan bahwa arti yang dimaksud dalam instruksi yang
diberikan akan sama dengan arti yang diterima olh penerima instruksi demikian
pula sebaliknya (the intended meaning of the same). Hal ini harus menjadi
tujuan seorang manejer dalam semua komunikasi yag dilakukannya.
Dalam
hal me-manage bawahannya, manajer selalu dihadapkan pada penentuan tuntuan
pekerjaan dari setiap jabatan yang dipegang dan ditangani oleh bawahannya (role
expectaties) dan konflik dapat menimbulkan ketegangan yang akan berefleksi
buruk kepada sikap kerja dan perilaku individual. Manajer yang baik akan
berusaha untuk meminimasasi konsukensi negatif ini dengan cara membuka dan
mempertahankan komunikasi dua arah yang efektif kepada setiap anggota bawahannya.
Disinilah manajer dituntut untuk memenuhi sisi lain dari ketrampilan
interpersonalnya, yaitu kemampuan untuk menangani dan menyelesaikan konflik.
Manajer
menghabiskan 20 persen dari waktu kerja mereka berhadapan dengan konflik. Dalam
hal ini, manajer bisa saja sebagai pihak pertama yang langsung terlibat dalam
konflik tersebut, dan bisa saja sebagai pihak pertama yang langsung terlibat
dalam konflik tersebut, dan bisa pula sebagai mediator atau pihak ketiga, yang
perannya tidak lain dari menyelesaikan konflik antar pihak lain yang
mempengaruhi organisasi bisnis maupun individual yang terlibat di dalam
organisasi bisnis yang ditanganinya.
Definisi
Konflik :
Menurut
Nardjana (1994) Konflik yaitu akibat situasi dimana keinginan atau kehendak
yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu
atau keduanya saling terganggu.
Menurut
Killman dan Thomas (1978), konflik adalah kondisi terjadinya ketidakcocokan
antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri
individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah
dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau
stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja (Wijono,1993, p.4)
Menurut
Wood, Walace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, dan Osborn (1998:580) yang dimaksud
dengan konflik (dalam ruang lingkup organisasi) yaitu : Conflict is a situation
which two or more people disagree over issues of organisational substance
and/or experience some emotional antagonism with one another.
yang
kurang lebih artinya konflik adalah suatu situasi dimana dua atau banyak orang
saling tidak setuju terhadap suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan
organisasi dan/atau dengan timbulnya perasaan permusuhan satu dengan yang
lainnya.
Menurut
Stoner Konflik organisasi ialah mencakup ketidaksepakatan soal alokasi
sumberdaya yang langka atau peselisihan soal tujuan, status, nilai, persepsi,
atau kepribadian. (Wahyudi, 2006:17)
Daniel
Webster mendefinisikan konflik sebagai:
1.
Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama
lain.
2.
Keadaan atau perilaku yang bertentangan (Pickering, 2001).
Ciri-Ciri
Konflik :
Menurut
Wijono( 1993 : 37) Ciri-ciri Konflik adalah :
1.
Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang
terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.
2.
Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun
kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius atau adanya
nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.
3.
Munculnya interaksi yang seringkali ditandai dengan gejala-gejala perilaku yang
direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak
lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan, tanggung jawab,
pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang- pangan, materi dan
kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu: mobil, rumah, bonus, atau
pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman, kepercayaan diri,
kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.
4.
Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan
yang berlarut-larut.
5.
Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait
dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan,
harga diri, prestise dan sebagainya.
Tahapan-Tahapan
Perkembangan kearah terjadinya Konflik :
1.
Konflik masih tersembunyi (laten)
Berbagai
macam kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan tidak
dipersoalkan sebagai hal yang mengganggu dirinya.
2.
Konflik yang mendahului (antecedent condition)
Tahap
perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum mengganggu
dirinya, kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti timbulnya tujuan
dan nilai yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya.
3.
Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat
dirasakan (felt conflict)
Muncul
sebagai akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan.
4.
Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior)
Upaya
untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang
ditimbulkannya; individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan berbagai
mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.
5.
Penyelesaian atau tekanan konflik
Pada
tahap ini, ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu konflik, yaitu
penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau sebaliknya malah ditekan.
6.
Akibat penyelesaian konflik
Jika
konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat maka dapat
memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak. Sebaliknya bila tidak,
maka bisa berdampak negatif terhadap kedua belah pihak sehingga
mempengaruhiprodukivitas kerja.(Wijono, 1993, 38-41). google-site-verification: googlef54fcfbd81291178.html
Sumber-Sumber Konflik :
1.
Konflik Dalam Diri Individu (Intraindividual Conflict)
A.
Konflik yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict)
Menurut
Wijono (1993, pp.7-15), ada tiga jenis konflik yang berkaitan dengan tujuan
yang hendak dicapai (goal conflict), yaitu:
1)
Approach-approach conflict, dimana orang didorong untuk melakukan pendekatan
positif terhadap dua persoalan atau lebih, tetapi tujuan-tujuan yang dicapai
saling terpisah satu sama lain.
2)
Approach-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk melakukan pendekatan
terhadap persoalan-persoalan yang mengacu pada satu tujuandan pada waktu yang sama
didorong untuk melakukan terhadap persoalan-persoalan tersebut dan tujuannya
dapat mengandung nilai positif dan negatif bagi orang yang mengalami konflik
tersebut.
3)
Avoidance-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk menghindari dua atau
lebih hal yang negatif tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu
sama lain.
Dalam
hal ini, approach-approach conflict merupakan jenis konflik yang mempunyai
resiko paling kecil dan mudah diatasi, serta akibatnya tidak begitu fatal.
B.
Konflik yang berkaitan dengan peran dan ambigius
Di
dalam organisasi, konflik seringkali terjadi karena adanya perbedaan peran dan
ambigius dalam tugas dan tanggung jawab terhadap sikap-sikap, nilai-nilai dan
harapan-harapan yang telah ditetapkan dalam suatu organisasi.
Filley
and House memberikan kesimpulan atas hasil penyelidikan kepustakaan mengenai
konflik peran dalam organisasi, yang dicatat melalui indikasi-indikasi yang
dipengaruhi oleh empat variabel pokok :
1)
Mempunyai kesadaran akan terjadinya konflik peran.
2)
Menerima kondisi dan situasi bila muncul konflik yang bisa membuat
tekanan-tekanan dalam pekerjaan.
3)
Memiliki kemampuan untuk mentolelir stres.
4)
Memperkuat sikap/sifat pribadi lebih tahan dalam menghadapi konflik yang muncul
dalam organisasi (Wijono, 1993, p.15).
Stevenin
(2000, pp.132-133), ada beberapa faktor yang mendasari munculnya konflik antar
pribadi dalam organisasi misalnya adanya:
1.
Pemecahan masalah secara sederhana. Fokusnya tertuju pada penyelesaian masalah
dan orang-orangnya tidak mendapatkan perhatian utama.
2.
Penyesuaian/kompromi. Kedua pihak bersedia saling memberi dan menerima, namun
tidak selalu langsung tertuju pada masalah yang sebenarnya.
Waspadailah
masalah emosi yang tidak pernah disampaikan kepada manajer. Kadang-kadang kedua
pihak tetap tidak puas.
3.
Tidak sepakat. Tingkat konflik ini ditandai dengan pendapat yang diperdebatkan.
Mengambil sikap menjaga jarak. Sebagai manajer, manajer perlu memanfaatkan dan
menunjukkan aspek-aspek yang sehat dari ketidaksepakatan tanpa membiarkan
adanya perpecahan dalam kelompok.
4.
Kalah/menang. Ini adalah ketidaksepakatan yang disertai sikap bersaing yang
amat kuat. Pada tingkat ini, sering kali pendapat dan gagasan orang lain kurang
dihargai. Sebagian di antaranya akan melakukan berbagai macam cara untuk
memenangkan pertarungan.
5.
Pertarungan/penerbangan. Ini adalah konflik “penembak misterius”. Orang-orang
yang terlibat di dalamnya saling menembak dari jarak dekat kemudian mundur
untuk menyelamatkan diri. Bila amarah meledak, emosi pun menguasai akal sehat.
Orang-orang saling berselisih.
6.
Keras kepala. Ini adalah mentalitas “dengan caraku atau tidak sama sekali”.
Satu-satunya
kasih karunia yang menyelamatkan dalam konflik ini adalah karena biasanya hal
ini tetap mengacu pada pemikiran yang logis. Meskipun demikian, tidak ada
kompromi sehingga tidak ada penyelesaian.
7.
Penyangkalan. Ini adalah salah satu jenis konflik yang paling sulit diatasi
karena tidak ada komunikasi secara terbuka dan terus-terang. Konflik hanya
dipendam. Konflik yang tidak bisa diungkapkan adalah konflik yang tidak bisa
diselesaikan.
Dampak
Konflik
Konflik
dapat berdampak positif dan negatif yang rinciannya adalah sebagai berikut :
1.
Dampak Positif Konflik
Menurut
Wijono (1993:3), bila upaya penanganan dan pengelolaan konflik karyawan dilakukan
secara efisien dan efektif maka dampak positif akan muncul melalui perilaku
yang dinampakkan oleh karyawan sebagai sumber daya manusia potensial dengan
berbagai akibat seperti:
1.
Meningkatnya ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan waktu bekerja,
seperti hampir tidak pernah ada karyawan yang absen tanpa alasan yang jelas,
masuk dan pulang kerja tepat pada waktunya, pada waktu jam kerja setiap
karyawan menggunakan waktu secara efektif, hasil kerja meningkat baik kuantitas
maupun kualitasnya.
2.
Meningkatnya hubungan kerjasama yang produktif. Hal ini terlihat dari cara
pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai dengan analisis pekerjaan
masing-masing.
3.
Meningkatnya motivasi kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antar
pribadi maupun antar kelompok dalam organisasi, seperti terlihat dalam upaya
peningkatan prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas, kejujuran,
inisiatif dan kreativitas.
4.
Semakin berkurangnya tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat membuat stress
bahkan produktivitas kerja semakin meningkat. Hal ini karena karyawan
memperoleh perasaan-perasaan aman, kepercayaan diri, penghargaan dalam
keberhasilan kerjanya atau bahkan bisa mengembangkan karier dan potensi dirinya
secara optimal.
5.
Banyaknya karyawan yang dapat mengembangkan kariernya sesuai dengan potensinya
melalui pelayanan pendidikan (education), pelatihan (training) dan konseling
(counseling) dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Semua ini bisa
menjadikan tujuan organisasi tercapai dan produktivitas kerja meningkat
akhirnya kesejahteraan karyawan terjamin.
2. Dampak Negatif Konflik
Dampak
negatif konflik (Wijono, 1993, p.2), sesungguhnya disebabkan oleh kurang
efektif dalam pengelolaannya yaitu ada kecenderungan untuk membiarkan konflik
tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik. Akibatnya muncul
keadaan-keadaan sebagai berikut:
1.
Meningkatkan jumlah absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir pada waktu
jam-jam kerja berlangsung seperti misalnya ngobrol berjam-jam sambil
mendengarkan sandiwara radio, berjalan mondar-mandir menyibukkan diri, tidur
selama pimpinan tidak ada di tempat, pulang lebih awal atau datang terlambat
dengan berbagai alasan yang tak jelas.
2.
Banyak karyawan yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman kerjanya yang
dirasakan kurang adil dalam membagi tugas dan tanggung jawab.
Seringnya
terjadi perselisihan antar karyawan yang bisa memancing kemarahan,
ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi pekerjaan, kondisi psikis dan
keluarganya.
3.
Banyak karyawan yang sakit-sakitan, sulit untuk konsentrasi dalam pekerjaannya,
muncul perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak oleh teman ataupun
atasan, merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya, timbul stres yang
berkepanjangan yang bisa berakibat sakit tekanan darah tinggi, maag ataupun
yang lainnya.
4.
Seringnya karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri bila memperoleh teguran
dari atasan, misalnya mengadakan sabotase terhadap jalannya produksi, dengan
cara merusak mesin-mesin atau peralatan kerja, mengadakan provokasi terhadap
rekan kerja, membuat intrik-intrik yang merugikan orang lain.
5.
Meningkatnya kecenderungan karyawan yang keluar masuk dan ini disebut labor
turn-over. Kondisi semacam ini bisa menghambat kelancaran dan kestabilan
organisasi secara menyeluruh karena produksi bisa macet, kehilangan karyawan
potensial, waktu tersita hanya untuk kegiatan seleksi dan memberikan latihan
dan dapat muncul pemborosan dalam cost benefit.
Konflik
yang tidak terselesaikan dapat merusak lingkungan kerja sekaligus orang-orang
di dalamnya, oleh karena itu konflik harus mendapat perhatian. Jika tidak, maka
seorang manajer akan terjebak pada hal-hal seperti:
1.
Kehilangan karyawan yang berharga dan memiliki keahlian teknis. Dapat saja
mereka mengundurkan diri. Manajer harus menugaskan mereka kembali, dan contoh
yang paling buruk adalah karena mungkin Manajer harus memecat mereka.
2.
Menahan atau mengubah informasi yang diperlukan rekan-rekan sekerja yang lurus
hati agar tetap dapat mencapai prestasi.
3.
Keputusan yang lebih buruk yang diambil oleh perseorangan atau tim karena
mereka sibuk memusatkan perhatian pada orangnya, bukan pada masalahnya.
4.
Kemungkinan sabotase terhadap pekerjaan atau peralatan. Seringkali dimaklumi
sebagai faktor “kecelakaan” atau “lupa”. Namun, dapat membuat pengeluaran yang
diakibatkan tak terhitung banyaknya.
5.
Sabotase terhadap hubungan pribadi dan reputasi anggota tim melalui gosip dan
kabar burung. Segera setelah orang tidak memusatkan perhatian pada tujuan
perubahan, tetapi pada masalah emosi dan pribadi, maka perhatian mereka akan
terus terpusatkan ke sana.
6.
Menurunkan moral, semangat, dan motivasi kerja. Seorang karyawan yang jengkel
dan merasa ada yang berbuat salah kepadanya tidak lama kemudian dapat meracuni
seluruh anggota tim. Bila semangat sudah berkurang, manajer akan sulit sekali
mengobarkannya kembali.
7.
Masalah yang berkaitan dengan stres. Ada bermacam-macam, mulai dari efisiensi
yang berkurang sampai kebiasaan membolos kerja.
Strategi Mengatasi Menajemen Konflik
Menurut , terdapat lima langkah meraih kedamaian dalam
konflik. Apa pun sumber masalahnya, lima langkah berikut ini bersifat mendasar
dalam mengatasi kesulitan:
1.
Pengenalan
Kesenjangan
antara keadaan yang ada diidentifikasi dan bagaimana keadaan yang seharusnya.
Satu-satunya yang menjadi perangkap adalah kesalahan dalam mendeteksi (tidak
mempedulikan masalah atau menganggap ada masalah padahal sebenarnya tidak ada).
2.
Diagnosis
Inilah
langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji mengenai siapa, apa,
mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan sempurna. Pusatkan perhatian
pada masalah utama dan bukan pada hal-hal sepele.
3.
Menyepakati suatu solusi
Kumpulkanlah
masukan mengenai jalan keluar yang memungkinkan dari orang-orang yang terlibat
di dalamnya. Saringlah penyelesaian yang tidak dapat diterapkan atau tidak
praktis. Jangan sekali-kali menyelesaikan dengan cara yang tidak terlalu baik.
Carilah yang terbaik.
4.
Pelaksanaan
Ingatlah
bahwa akan selalu ada keuntungan dan kerugian. Hati-hati, jangan biarkan
pertimbangan ini terlalu mempengaruhi pilihan dan arah kelompok.
5.
Evaluasi
Penyelesaian
itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah baru. Jika penyelesaiannya
tampak tidak berhasil, kembalilah ke langkah-langkah sebelumnya dan cobalah
lagi.
Stevenin (1993 : 139-141) juga
memaparkan bahwa ketika mengalami konflik, ada hal-hal yang tidak boleh
dilakukan di tengah-tengah konflik, yaitu:
1.
Jangan hanyut dalam perebutan kekuasaan dengan orang lain. Ada pepatah dalam
masyarakat yang tidak dapat dipungkiri, bunyinya: bila wewenang bertambah maka
kekuasaan pun berkurang, demikian pula sebaiknya.
2.
Jangan terlalu terpisah dari konflik. Dinamika dan hasil konflik dapat
ditangani secara paling baik dari dalam, tanpa melibatkan pihak ketiga.
3.
Jangan biarkan visi dibangun oleh konflik yang ada. Jagalah cara pandang dengan
berkonsentrasi pada masalah-masalah penting. Masalah yang paling mendesak belum
tentu merupakan kesempatan yang terbesar.
Menurut
Wijono strategi mengatasi menajemen konflik, yaitu:
1.
Strategi Mengatasi Konflik Dalam Diri Individu (Intraindividual Conflict)
Menurut
Wijono , untuk mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan
paling tidak tujuh strategi yaitu:
1)
Menciptakan kontak dan membina hubungan
2)
Menumbuhkan rasa percaya dan penerimaan
3)
Menumbuhkan kemampuan /kekuatan diri sendiri
4)
Menentukan tujuan
5)
Mencari beberapa alternatif
6)
Memilih alternatif
7)
Merencanakan pelaksanaan jalan keluar
2. Strategi Mengatasi Konflik Antar
Pribadi (Interpersonal Conflict)
Menurut
Wijono, untuk mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan
paling tidak tiga strategi yaitu:
1)
Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy)
Beorientasi
pada dua individu atau kelompok yang sama-sama kalah. Biasanya individu atau
kelompok yang bertikai mengambil jalan tengah (berkompromi) atau membayar
sekelompok orang yang terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa orang atau
kelompok ketiga sebagai penengah.
Dalam
strategi kalah-kalah, konflik bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak
ketiga bila perundingan mengalami jalan buntu. Maka pihak ketiga diundang untuk
campur tangan oleh pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak atas
kemauannya sendiri. Ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak ketiga yaitu:
a.
Arbitrasi (Arbitration)
Arbitrasi
merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan kedua belah pihak yang
berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai hakim dan penengah dalam menentukan
penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat.
b.
Mediasi (Mediation)
Mediasi
dipergunakan oleh Mediator untuk menyelesaikan konflik tidak seperti yang
diselesaikan oleh abriator, karena seorang mediator tidak mempunyai wewenang
secara langsung terhadap pihak-pihak yang bertikai dan rekomendasi yang
diberikan tidak mengikat.
2)
Strategi Menang-Kalah (Win-Lose Strategy)
Dalam
strategi saya menang anda kalah (win lose strategy), menekankan adanya salah satu
pihak yang sedang konflik mengalami kekalahan tetapi yang lain memperoleh
kemenangan.
Beberapa
cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik
dengan
win-lose strategy (Wijono, 1993 : 44), dapat melalui:
a.
Penarikan diri, yaitu proses penyelesaian konflik antara dua atau lebih pihak
yang kurang puas sebagai akibat dari ketergantungan tugas (task independence).
b.
Taktik-taktik penghalusan dan damai, yaitu dengan melakukan tindakan perdamaian
dengan pihak lawan untuk menghindari terjadinya konfrontasi terhadap perbedaan
dan kekaburan dalam batas-batas bidang kerja (jurisdictioanal ambiquity).
c.
Bujukan, yaitu dengan membujuk pihak lain untuk mengubah posisinya untuk
mempertimbangkan informasi-informasi faktual yang relevan dengan konflik,
karena adanya rintangan komunikasi (communication barriers).
d.
Taktik paksaan dan penekanan, yaitu menggunakan kekuasaan formal dengan
menunjukkan kekuatan (power) melalui sikap otoriter karena dipengaruhi oleh
sifat-sifat individu (individual traits).
e.
Taktik-taktik yang berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran persetujuan
sehingga tercapai suatu kompromi yang dapat diterima oleh dua belah pihak,
untuk menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan persaingan terhadap
sumber-sumber (competition for resources) secara optimal bagi pihak-pihak yang
berkepentingan.
3)
Strategi Menang-Menang (Win-Win Strategy)
Penyelesaian
yang dipandang manusiawi, karena menggunakan segala pengetahuan, sikap dan
keterampilan menciptakan relasi komunikasi dan interaksi yang dapat membuat
pihak-pihak yang terlibat saling merasa aman dari ancaman, merasa dihargai,
menciptakan suasana kondusif dan memperoleh kesempatan untuk mengembangkan
potensi masing-masing dalam upaya penyelesaian konflik. Jadi strategi ini
menolong memecahkan masalah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, bukan
hanya sekedar memojokkan orang.
Strategi
menang-menang jarang dipergunakan dalam organisasi dan industri, tetapi ada 2
cara didalam strategi ini yang dapat dipergunakan sebagai alternatif pemecahan
konflik interpersonal yaitu:
a.
Pemecahan masalah terpadu (Integrative Problema Solving) Usaha untuk
menyelesaikan secara mufakat atau memadukan kebutuhan-kebutuhan kedua belah
pihak.
b.
Konsultasi proses antar pihak (Inter-Party Process Consultation) Dalam
penyelesaian melalui konsultasi proses, biasanya ditangani oleh konsultan
proses, dimana keduanya tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan konflik
dengan kekuasaan atau menghakimi
salah
satu atau kedua belah pihak yang terlibat konflik
3.
Strategi Mengatasi Konflik Organisasi (Organizational Conflict)
Menurut
Wijono (1993, pp.113-125), ada beberapa strategi yang bisa dipakai untuk
mengantisipasi terjadinya konflik organisasi diantaranya adalah:
1)
Pendekatan Birokratis (Bureaucratic Approach)
Konflik
muncul karena adanya hubungan birokratis yang terjadi secara vertikal dan untuk
menghadapi konflik vertikal model ini, manajer cenderung menggunakan struktur
hirarki (hierarchical structure) dalam hubungannya secara otokritas. Konflik
terjadi karena pimpinan berupaya mengontrol segala aktivitas dan tindakan yang
dilakukan oleh bawahannya. Strategi untuk pemecahan masalah konflik seperti ini
biasanya dipergunakan sebagai pengganti dari peraturan-peraturan birokratis
untuk mengontrol pribadi bawahannya. Pendekatan birokratis (Bureaucratic
Approach) dalam organisasi bertujuan mengantisipasi konflik vertikal (hirarkie)
didekati dengan cara menggunakan hirarki
struktural
(structural hierarchical).
2)
Pendekatan Intervensi Otoritatif Dalam Konflik Lateral (Authoritative
Intervention in Lateral Conflict)
Bila
terjadi konflik lateral, biasanya akan diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak
yang terlibat konflik. Kemudian jika konflik tersebut ternyata tidak dapat
diselesaikan secara konstruktif, biasanya manajer langsung melakukan intervensi
secara otoratif kedua belah pihak.
3)Pendekatan
Sistem (System Approach)
Model
pendekatan perundingan menekankan pada masalah-masalah kompetisi dan model
pendekatan birokrasi menekankan pada kesulitan-kesulitan dalam kontrol, maka
pendekatan sistem (system Approach) adalah mengkoordinasikan masalah-masalah
konflik yang muncul.
Pendekatan
ini menekankan pada hubungan lateral dan horizontal antara fungsi-fungsi pemasaran
dengan produksi dalam suatu organisasi.
4)
Reorganisasi Struktural (Structural Reorganization)
Cara
pendekatan dapat melalui mengubah sistem untuk melihat kemungkinan terjadinya
reorganisasi struktural guna meluruskan perbedaan kepentingan dan tujuan yang
hendak dicapai kedua belah pihak, seperti membentuk wadah baru dalam organisasi
non formal untuk mengatasi konflik yang berlarut-larut sebagai akibat adanya
saling ketergantungan tugas (task interdependence) dalam mencapai kepentingan
dan tujuan yang berbeda sehingga fungsi organisasi menjadi kabur.